Menepi saat hujan kiranya lebih baik.. Bukan karena menghindari hujan, tetapi dalam pemberhentian malam itu (Kamis, 7 Juni 2012) di emperan gudang, saya bertemu dengan seorang pendiri Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS), bapak Yudi. Tidak disangka, ternyata seorang yang bertindak untuk mewujudkan perubahan adalah tetangga saya satu kota yaitu Klaten. Banyak yang beliau ceritakan tentang persoalan bangsa ini yang seharusnya saya sebagai mahasiswa mengkritisinya. Pikiran saya terbuka, bahwa bukan hanya korupsi, politik, dan hal2 yang berkaitan dengan itu saja yang patut di kritisi, karena kita ada bukan untuk menunjukkan bahwa kita hebat dan kita menang. Tetapi, kita ada untuk membuat perubahan! Perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak hanya artis dengan segala masalah hidupnya yang selalu kita ketahui (karena sering nongol di TV). Ketahuilah sahabat, banyak hal kecil yang dapat berdampak besar bagi diri kita dan oranglain. Hal-hal kecil itulah yang sering terabaikan oleh sebagian besar "pejuang bangsa".
Beliau juga memperkenankan saya menjadi volunteer bahkan Guru Tamu di SABS. Perkenalan ini sangat berharga buat saya. Karena saya termasuk mahasiswa yang jarang kumpul organisasi, saya merasa saya kurang beruntung tidak menyalurkan pemikiran2 saya sejak lama. Tapi tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik bukan?
Di sela pembicaraan, bapak Yudi meminta saya untuk membaca harian Kompas edisi Senin, 4 Juni 2012...
singkat kata singkat cerita, saya cari2 artikel itu di internet dan wallla.... berikut artikelnya:
Senin, 04 Juni 2012
Suyudi: Sekolah Alam di Tepi Bengawan Solo
SUYUDI
Lahir: Klaten, Jawa Tengah, 17 April 1965
Pendidikan:
- SDN Gondangsari 2, Klaten
- SMPN 1 Juwiring, Klaten
- SMAN1 Sukoharjo, Jawa Tengah
- S-1 Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah
Istri: Maryati
Anak: Surya Nur Indrawan
Terdengar suara tawa
bocah-bocah mungil yang tangannya menggenggam potongan pepaya. Buah itu
berasal dari kebun tempat mereka sehari-hari bermain. Buah itu menjadi
"pencuci mulut" seusai mereka makan siang, selepas waktu sekolah.
Begitulah suasana sehari-hari Sekolah Alam Bengawan Solo di Dusun
Panjangan, Desa Gondangsari, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah.
OLEH SRI REJEKI
Tak
ada kelas dengan bangunan permanen, yang ada hanya deretan saung
berbahan bambu dan kayu, atapnya dari daun kelapa. Ini untuk menanamkan
pemahaman kepada anak, belajar bisa dilakukan di mana saja. Ada 10 saung
di lahan yang berlokasi di bantaran Sungai Bengawan Solo ini.
Di antara saung itu
dibuat kolam ikan terasering mengikuti kontur tanah bantaran yang
menurun. Ada pula kebun yang ditanami pepaya, cabai, terung, singkong,
tanaman hias, dan aneka tumbuhan lain, juga ayunan dari bambu dan kayu.
"Membaca berita
tentang korupsi yang merajalela, saya ngeri. Saya ingin mengubah bangsa
ini, tetapi tidak bisa. Saya realistis saja, mencoba membangun sekolah
alam dengan harapan menghasilkan generasi penerus yang mampu mengubah
bangsa ini menjadi lebih baik," kata Suyudi, pendiri Sekolah Alam
Bengawan Solo (SABS).
Dia membangun SABS
sebagai pengembangan pendidikan anak usia dini (PAUD) Taruna Teladan
yang dirintisnya sejak tahun 2005. Ada 16 siswa SABS di kelas 1 SD,
sedangkan siswa PAUD mencapai 120 orang yang terbagi dalam kelompok
bermain, taman kanak-kanak (TK) A dan TK B.
Dibantu sembilan
guru yang mengajar di PAUD dan tujuh orang yang mengajar di SABS, Suyudi
mengolaborasikan idealismenya dan kurikulum pemerintah menjadi
kurikulum akhlak, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Ia
juga menonjolkan muatan lokal, seperti pertanian dalam arti luas dan
pertukangan.
Desa Gondangsari
berbatasan dengan sentra mebel Serenan, Klaten, dan Bulakan, Sukoharjo.
Produksi mebel itu merambah mancanegara. Selain mebel, warga juga
mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan. Kepada siswa juga di
diajarkan mengenal dunia pertanian dengan menanam dan memelihara
tanaman, menyirami, memberi pupuk yang dibuat sendiri, serta memanen dan
menyantap hasil panen.
"Generasi muda kita tidak akrab dengan pertanian karena tak dikenalkan sejak kecil," katanya.
Bagi Suyudi, bercocok
tanam harus dilandasi keikhlasan agar mampu mengikis mental koruptif
seseorang. "Mentalitas antikorupsi itu dasarnya keikhlasan," tegasnya.
Untuk biaya
operasional PAUD, Suyudi mencukupinya dari iuran pendidikan siswa Rp
80.000 per anak setiap bulan. Sedangkan biaya operasional SABS masih
disubsidi kantong pribadinya meski siswa pun membayar Rp 100.000 per
bulan, termasuk makan siang, makanan ringan, dan buletin sekolah.
Pada dua tahun awal
operasional PAUD, Suyudi mengaku harus menjual mobil guna menutupi biaya
penyelenggaraan pendidikan yang saat itu digratiskan. "Kini setiap
bulan subsidi saya Rp 2 juta-Rp 3 juta."
Sebagai sumber
pembiayaan, Suyudi memproduksi alat peraga edukatif (APE). Ia dibantu
enam tukang dan tengah mengerjakan 400 set APE pesanan sebuah bank. APE
akan dibagikan ke sekolah-sekolah sebagai wujud tanggung jawab sosial
bank itu.
Mampu membuat
sendiri APE juga membuat PAUD dan SABS yang dikelola Suyudi tak perlu
mengeluarkan banyak uang untuk kebutuhan alat peraga. Bahkan, untuk
bangunan SABS dan perpustakaan pun dikerjakan sendiri dibantu para
tukang.
Masa bermain
Bukan hal mudah
memperkenalkan paradigma pendidikan yang dianutnya, seperti tugas guru
adalah membimbing dan memfasilitasi siswa, bukan memaksa dan
"menyeragamkan" mereka. Suyudi bercerita, orangtua siswa di PAUD dan
SABS kerap mempertanyakan perkembangan anak mereka dalam membaca,
menulis, dan berhitung (calistung). Mereka merasa anaknya tak mampu
calistung secepat siswa di sekolah formal.
Di sisi lain, Suyudi
dan para guru berpendapat, siswa pada usia PAUD, bahkan sampai kelas
III SD, hendaknya tak dibebani materi pembelajaran yang berat, seperti
calistung.
"Ini masa anak
bermain sepuasnya sehingga kami lebih menekankan aspek afektif dan
psikomotor. Kami juga meniadakan tinggal kelas untuk siswa kelas I-III,"
ujarnya.
Penilaian orangtua
tentang metode belajar, hasil pendidikan, dan biaya sekolah dituangkan
dalam rapor orangtua untuk sekolah. SABS menerapkan waktu sekolah hingga
pukul 15.30. Seusai mengunyah materi formal sampai pukul 12.00, siswa
diajarkan bercocok tanam, membuat pupuk, atau materi kewirausahaan.
Setelah itu, siswa tidur siang. Alam dijadikan media belajar pembentukan
karakter anak.
"Pendidikan karakter
itu kuncinya pembiasaan, jadi kita harus mempraktikkannya sehari-hari.
Kita tak cukup hanya bicara materi di kelas," kata Suyudi.
Meski berlokasi di
bantaran sungai, fasilitas SABS dan PAUD relatif lengkap, mulai kolam
renang sederhana, gazebo, mandi bola, hingga perlengkapan drumband, komputer, dan internet.
Tak hanya menggarap
pendidikan siswa, tetapi ia juga ingin mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan orangtua lewat kegiatan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) Taruna Teladan yang didirikannya tahun 2006. Beberapa kegiatan
di PKBM adalah pelatihan pembuatan APE, batik kayu, kelompok belajar
paket C, dan PAUD.
Kolam ikan yang
dibuat di tengah area SABS juga digunakan untuk memelihara ikan lele,
nila merah, dan gurame. Suyudi berharap, adanya ikan di kolam itu
mengubah kebiasaan warga menyebar racun di sungai untuk memperoleh ikan.
Mereka bisa mengambil ikan di kolam.
Sedangkan di daratan
yang muncul saat musim kemarau ditanami sayuran. Warga diberi pelatihan
cara beternak ikan dan menanam sayuran. Selain sebagai sarana belajar
siswa dan pemberdayaan warga, keberadaan kolam ikan dan kebun sayur pun
menambah penghasilan guru yang sebagian besar berijazah S-1.
Meski berlatar
belakang perajin mebel, Suyudi menyenangi dunia pendidikan. Hasrat dan
semangat itulah yang membuat dia membuka sekolah ia bercerita,
sebelumnya, selama tiga tahun, ia bekerja di perusahaan mebel milik
orang asing. Dia lalu memutuskan mendirikan usaha mebel sendiri, dan
produknya sempat diekspor ke Jerman. Belakangan, ia berusaha memenuhi
kebutuhan pasar domestik dan APE.
"Saya ingin
menunjukkan, pendidikan itu tak harus menunggu bantuan pemerintah atau
orang yang punya uang. PKBM juga bisa menyelenggarakan pendidikan jika
diberi kesempatan, justru tujuannya tidak berorientasi keuntungan
materi," kata Suyudi menegaskan.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 JUNI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar