Selasa, 08 Mei 2012

Major Histocompatibility Complex (MHC)

Major Histocompatibility Complex  (MHC)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Biodiversitas






Disusun Oleh :
Ensina Sawor Dea P.
M0409018




JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011











Major Histocompatibility Complex  (MHC)
Major Histocompatibility Complex  (MHC) adalah satu set molekul yang ditampilkan pada permukaan sel yang bertanggung jawab untuk pengakuan limfosit dan "presentasi antigen". Molekul-molekul MHC mengontrol respon imun melalui pengakuan dari "self" dan "non-self" akibatnya menjadi target dalam penolakan transplantasi.
Major Histocompatibility Complex  (MHC) dikodekan oleh beberapa gen terletak pada kromosom manusia 6. Kelas I molekul dikodekan oleh daerah BCA sementara kelas II molekul dikodekan oleh daerah D. Sebuah wilayah antara kedua pada kromosom 6 mengkodekan molekul kelas III, termasuk beberapa komponen komplemen.
Histokompatibilitas kompleks Mayor (MHC) merupakan molekul permukaan sel dikode oleh gen keluarga besar di semua vertebrata. Molekul MHC memediasi interaksi leukosit, juga disebut sel-sel darah putih (leukosit), yang merupakan sel-sel yang berfungsi sebagai kekebalan tubuh, dengan leukosit atau sel-sel tubuh. MHC menentukan kompatibilitas donor untuk transplantasi organ serta kerentanan seseorang terhadap penyakit autoimun melalui crossreacting imunisasi. Pada manusia, MHC juga disebut antigen leukosit manusia (HLA).
Karena panjang dan besar DNA dalam MHC termasuk seluruh lini gen cenderung mendapatkan warisan bersama-sama, jadi dapat dikelompokkan dengan set seluruh variasi DNA yang sama. Karena variasi warisan atau 'linkage disequilibrium' sangat kuat dalam MHC maka sangat sulit untuk membongkar apa yang ada di balik setiap perubahan DNA yang satu terkait dengan penyakit tertentu. Bisa jadi ada hubungan dengan gen tertentu yang berpengaruh atau bisa juga lain dari banyak gen yang erat digabungkan untuk itu.
Tubuh memiliki banyak lapisan kontrol untuk memastikan gen hanya aktif di tempat yang tepat dan dalam jumlah yang tepat. Proses sentral tentu saja sama yaitu urutan DNA menjadi RNA membaca kode dari mana protein diproduksi. Tetapi pada setiap tahap ada checks and balances untuk memastikan setiap gen dan produk bekerja pada tingkat yang tepat untuk menjaga proses pengkodean.
Mungkin perubahan DNA bisa mengubah struktur protein yang dikodekan oleh gen, tetapi juga dapat mengubah aktivitas gen atau kontrol yang lain. Ini bisa mengubah gen atau mematikan, atau mengubah bentuk akhir protein yang dihasilkan.
Dalam studi lainnya didapati bahwa variasi genetika dalam HLA (Human Leukocyte Antigen) turut menentukan siapa yang akan menjadi pasangannya, studi tersebut mengamati mekanisme MHC (Major Histocompatibility Complex) dalam kaitannya dengan variasi HLA. Dua studi turunannya telah dilakukan, salah satunya melibatkan patogen (agen penyebab penyakit) dan yang lainnya tidak melibatkan patogen.
Dalam hal HLA, allela (pasangan gen) menunjukkan ko-dominasi (sama dominannya antar dua gen yang berpasangan), dengan akibat bahwa heterozigot dapat merespon antigen 'non-self pathogenic' secara lebih luas (lebih banyak antigen yang dapat terdeteksi), dan sistem kekebalan dari individu yang heterozigot juga dapat mengikat dua kali lebih banyak peptida (atau protein) asing, dibandingkan dengan seorang individu yang homozigot. Molekul HLA mengikat dan menunjukkan pecahan sel-sel penyakit pada permukaan membran sel, di mana kemudian akan dikenali oleh T-Cells. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lebih banyak jenis molekul HLA dapat berakibat pada ketahanan terhadap penyakit secara lebih luas. Lalu kemudian dapat disimpulkan bahwa individu yang heterozigot lebih diuntungkan oleh seleksi alam.

Referensi
Alberts, S. and Ober, C. 1993. Genetic variability in the major histocompatibility complex: a review of non-pathogen-mediated selective mechanism. Yearb Phys Anthropol 36:71–80
Brown, J. L. 1997. A theory of mate choice based on heterozygosity. Behav Ecol 8:60–5
MHC Sequencing Consortium. 1999. Complete sequence and gene map of the human major histocompatibility complex. Nature 401:921–3
Milinski, M. 2006. The major histocompatibility complex, sexual selection and mate choice. Annu Rev Ecol Evol Syst 37:159–86
Roberts T, Roiser JP. 2010. In the nose of the beholder: are olfactory influences on human mate choice driven by variation in immune system genes or sex hormone levels?. Exp. Biol. Med. 235:1277-1281.
ThornhillR, GangestadSW, MillerR, ScheydG, McColloughJK, FranklinM. 2003. Major histocompatibility complex genes, symmetry and body scent attractiveness in men and women. Behav Ecol 14:668–78
Vandiedonck,C. 2000. MRC Human Genetics. United Kingdom: Oxford University Press.





















LAPORAN BIODIVERSITAS KELOMPOK 5



DISUSUN OLEH:
MAHASISWA ANGKATAN 2008-2009
KELOMPOK 5

JURUSAN BIOLOGI
FAULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012




ABSTRAK

Keanekaragaman flora pada kawasan Praci, Wanagama, dan Ngelanggeran dipengaruhi oleh factor abiotik yang meliputi suhu, pH, kelembapan tanah, intensitas cahaya dan keadaan tanah. Jenis flora pada daerah praci kebanyakan floranya merupakan tanaman budidaya semisal pohon Nangka, pohon Pisang, pohon Pepaya, pohon Mangga, pohon kelapa, namun ada pula tanaman hutan semisal jati. Sedangkan pada daerah wanagama dan ngelanggeran flora yang banyak terdapat disana merupakan tanaman hutan yaitu Jati, Mahoni, Akasia, Pule ireng, sengon, lirisidi, duwet, rempeni dan sebagainya. Untuk perhitungan indeks diversitas didapat hasil yang tertinggi adalah Petai Cina yang terdapat pada wilayah Pracimantoro bagian barat dengan nilai 0,159, Jati yang terdapat pada wilayah Wanagama dengan nilai 0,158, dan Rumpeni yang terdapat pada wilayah Nglanggeran 0,16.
Kata kunci: Kasrt, Praci, Wanagama, Nglanggeran.
















ABSTRACT
Diversity of flora in the region Praci, Wanagama, and Ngelanggeran influenced by abiotic factors including temperature, pH, soil moisture, light intensity and soil conditions. Type of flora in the area praci flora is mostly cultivated plants such as Jackfruit trees, banana trees, papaya trees, mango trees, coconut trees, but there are also crops such as teak forests. While in the area ngelanggeran Wanagama and flora that is widely available there is a forest plant that is Teak, Mahogany, Acacia, Pule ireng, sengon, lirisidi, Duwet, rempeni and so on. For the calculation of diversity indices obtained the highest results are contained in China Petai Pracimantoro the western region with a value of 0.159, Teak Wanagama contained in the region with a value of 0.158, and contained in the region Rumpeni Nglanggeran 0.16.

Keyword: Karst, Praci, Wanagama, Nglanggeran.

















BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Karst diartikan sebagai bentang alam khas yang berkembang di suatu kawasan batuan karbonat (batu gamping dan dolomit) atau batuan lain yang mudah larut dan telah mengalami proses karstifikasi atau pelarutan sampai tingkat tertentu (Siradz, 2004). Karena faktor yang mempengaruhi pembentukan batuan karbonat bermacam-macam menyebabkan bentang lahan yang dibentuknya juga beraneka ragam. Pelarutan tersebut akan menghasilkan bentukan-bentukan yang khas yang tidak dapat dijumpai pada batuan jenis lain. Gejala pelarutan ini merupakan awal dari proses karstifikasi. Morfologi yang dihasilkan oleh batuan karbonat yang mengalami karstifikasi dikenal dengan sebutan bentang lahan karst.
Saat ini kawasan karst banyak mendapat ancaman kerusakan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap fungsi karst itu sebagai sumber daya air dan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis. Masyarakat hanya mengenal karst sebagai bahan galian untuk bangunan, semen, kapur tohor dan marmer. Sehingga pemanfaatan karts oleh masyarakat kurang memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan sebagai penunjang pembangunan termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan (Siradz, 2004).
Ekosistem karst merupakan keseluruhan komponen abiotik, biotik, dan budaya yang berada di bentang alam kawasan karst. Kandungan hara dan sifat tanah karst mempengaruhi jenis – jenis flora dan fauna yang hidup disana. Karakteristik wilayah di ekosistem karst yang sangat spesifik menimbulkan berbagai permasalahan, terutama menyangkut fungsi dan daya dukung ekosistem karst terhadap aktivitas kehidupan manusia yang berada didalamnya. Berbagai permasalahan yang muncul dapat diklasifikasikan dalam permasalahan lingkup abiotik, biotik dan sosial.
Informasi ini dapat menggambarkan / memprediksi tingkat dan luasnya penyebaran yang mungkin akan terjadi (potential spread) berdasarkan pengetahuan tentang habitat-habitat yang lebih disukai jenis-jenis tersebut di tempat aslinya; juga dampak yang mungkin terjadi berdasarkan pengetahuan tentang kompetisi karena tekanan preferensi makanan, ukuran kelompok/ populasi dan densitas/kepadatan; serta pengendalian alam terhadap populasi jenis eksotik tersebut (pengendalian oleh atau karena penyakit, pemangsa-pemangsa dan kompetisi yang berasal dari organisme-organisme lain).
Pertanian pada lahan karst pada saat ini masih bersifat tradisional. Tanaman pangan berupa jagung, ketela pohon dan kacang tanah dengan sistem tumpang sari dan / atau tumpang gilir merupakan tanaman andalan petani. Meskipun demikian pada beberapa tempat telah ada usaha petani untuk menanam “cash crop” yang bernilai ekonomi tinggi. Wawasan untuk menanam komoditas yang bernilai ekonomi tinggi perlu mendapat dukungan dari semua pihak sebab cara ini merupakan alternatif untuk mengangkat kesejahteraan dan harkat petani setempat. Dalam hubungan ini dukungan pihak perguruan tinggi berupa penelitian-penelitian yang bermuara pada pengembangan pertanian spesifik lokasi sangat diperlukan.
Kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi menyebabkan terjadinya konversi dari hutan alam menjadi hutan tanaman dengan jenis – jenis komersial yang bernilai tinggi seperti jati, mahoni, sonokeling, akasia, lamtoro, kelapa, kapuk randu, dll. Kondisi ini akan menghilangkan keanekaragaman hayati dari jenis – jenis tumbuhan yang tidak berniai ekonomi tinggi. Tekanan masyarakat terhadap lahan menyebabkan kerusakan dan hilangnya keanekaragahan hayati, karena tingginya kebutuhan tanpa diimbangi dengan konservasi.
Salah satu persoalan pokok yang dijumpai pada lahan karst adalah ketidak seimbangan hara tersedia di dalam tanah. Lahan karst yang berkembang dari batuan induk gampingan biasanya mempunyai kandungan hara kalsium (Ca) tersedia yang sangat tinggi sampai berlebihan, sedangkan hara lain misalnya fosfat dan hara mikro ketersediaanya sangat rendah. Fosfat di dalam tanah akan dijerap dengan kuat oleh kalsium membentuk ikatan kalsium fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman. Gejala chlorosis fosfat merupakan gejala defisiensi yang sering terlihat pada lahan karst. Selain fosfat, nitrogen umumnya juga sangat rendah karena bahan organik yang rendah. Selain kandungannya rendah, taraf dekomposisi bahan organik lambat karena lengas tanah rendah. Lebih lanjut, dalam kondisi ketersediaan hara kalsium yang sangat tinggi dapat mengakibatkan interaksi serapan hara yang kurang menguntungkan, misalnya menurunnya serapan hara mikro (Siradz, 2004).

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keberadaan keanekaragaman hayati ekosistem pegunungan karst?
2.      Bagaimana penyebaran spesies dan kondisi abiotik ekosistem pegunungan karst?
3.      Bagaimana analisis keragaman spesies, identifikasi biota dan komposisi vegetasi ekosistem pegunungan karst?
4.      Bagaimana struktur, karakter, dan komposisi spesies ekosistem pegunungan karst?

C.  Tujuan
1.      Mengetahui keberadaan keanekaragaman hayati ekosistem pegunungan karst.
2.      Mengetahui penyebaran spesies dan kondisi abiotik ekosistem pegunungan karst.
3.      Menganalisis keragaman spesies, identifikasi biota dan komposisi vegetasi ekosistem pegunungan karst.
4.      Mengetahui struktur, karakter, dan komposisi spesies ekosistem pegunungan karst.
D.  Manfaat
Pratikum ini bermanfaat untuk mengetahui dan menganalisis penyebaran dan struktur keanekaragaman hayati ekosistem, spesies, identifikasi biota dan komposisi vegetasi ekosistem pegunungan karst serta kondisi abiotiknya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Biodiversitas (Bahasa Inggris: biodiversity) adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis. Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di bumi. Wilayah tropis memiliki keanekaragaman hayati yang lebih kaya, dan jumlah keanekaragaman hayati terus menurun jika semakin jauh dari ekuator (Leveque dan Mounolou, 2003).
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (biodiversity) adalah semua kehidupan diatas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikrioorganisme, serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik ada yang ada di darat, laut maupun sistem-sistem perairan lainnya (Leveque dan Mounolou, 2003).
Keanekaragaman hayati adalah ukuran dari banyaknya hewan, tanaman, dan mikroba berbagai species yang berbeda secara genetik dan ekosistem yang saling mendukung di dalamnya. Keanekaragaman yang tinggi berarti ada banyak species yang berbeda dalam suatu daerah. Pada distribusi keragaman pada skala spasial digambarkan dalam ekologi sebagai alfa, beta, dan gamma keragaman (Sarkar, et.al, 2010).
Keanekaragaman hayati yang ditemukan di bumi adalah hasil dari miliaran tahun proses evolusi. Asal muasal kehidupan belum diketahui secara pasti dalam sains. Hingga sekitar 600 juta tahun yang lalu, kehidupan di bumi hanya berupa archaea, bakteri, protozoa,danorganisme uniseluler lainnya sebelum organisme multiseluler muncul dan menyebabkan ledakan keanekaragaman hayati yang begitu cepat, namun secara periodik dan eventual juga terjadi kepunahan secara besar-besaran akibat aktivitas bumi, iklim, dan luar angkasa (Leveque dan Mounolou, 2003).
Keanekaragaman hayati dapat terjadi pada berbagai tingkat kehidupan, mulai dari organisme tingkat rendah sampai organisme tingkat tinggi. Misalnya dari makhluk bersel satu hingga makhluk bersel banyak; dan tingkat organisme kehidupan individu sampai tingkat interaksi kompleks, misalnya dari spesies sampai ekosistem (Wright, B. E. 2010)
Karst merupakan medan dengan bentuk lahan dan hidrologi khas yang terjadi akibat gabungan dari batuan mudah larut dan porositas sekunder yang berkembang baik. Bentang lahan karst dimunculkan oleh adanya perkembangan hidrologi bawah permukaan yang luar biasa . Diperkirakan kawasan karst meliputi 7- 10% total lahan dunia, Indonesia memiliki kawasan karst yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 15,4 juta hektar dengan kawasan karst Pegunungan Sewu merupakan salah satu diantaranya.( Notohadiprawiro. 2000)
 Gunung api purba adalah gunung api yang pernah aktif pada masa lampau, tetapi sekarang ini sudah mati dan bahkan tererosi lanjut. Penampakannya sudah tidak sejelas gunung api aktif masa kini, tetapi diyakini letaknya masih in situ. Informasi keberadaan gunung api purba ini sangat penting untuk mema­hami kondisi geologi suatu daerah, perkembangan vulkanisme dan kemungkinan mineralisasi bentukan asalnya (volcanogenic minerals). Laporan  ini bertu­juan untuk mengidentifikasi keberadaan gunung api purba yang  terutama keanekaragaman flora dan faunanya.(Bronto dan Hartono, 2003).
Dari hasil penelitian yang di tulis dalam Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 253-267 bahwa daerah penelitian merupakan bekas gunung api purba yang fasies pusatnya terletak di dalam cekungan berbentuk tapal kuda, membentuk pegunungan intrusi basal propilit-argilik dan di dalamnya terdapat cebakan mineral logam Fe, Cu, Pb, dan Zn. Fasies proksimal berupa pegunungan basal propilit, tersusun oleh perlapisan aliran lava basal, yang sebagian membentuk struktrur bantal. Konsep gunung api purba ini dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan potensi sumber daya mineral logam dengan fasies pusat gunung api tersebut. (Rus Abdissalam. 2009)
Dari hasil penelitian yang di tulis dalam Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (1) (2006) p: 1-12 ini dapat disimpulkan: 1). Perbedaan bentang lahan karst yakni poligonal, labyrinth dan residual karst menyebabkan terjadinya perbedaan beberapa sifatmorfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. 2). Tanah yang berkembang diatas bentang lahan karst tidak berkembang secara insitu. Bahan induktanah tidak berasal dari batu gampingmelainkan dari bahan induk abu volkanmerapi. 3). Bentang lahan poligonal, labyrinth dan residual karst mempunyaijenis mineral yang sama yakni lithic, feldspar, kwarsa, piroxin, hornblendedan opak. 4). Tingkat perkembangan tanah pada ketiga bentang lahan yakni poligonal, labyrinth dan residual karst yang menunjukkan perkembangan tanah lanjut yakni pada daerah lembah tapi hal ini kontradiktif dengan indeks pelapukan tanah menurut Jackson (1968). 5). Berdasarkan hasil pengamatan profil dan analisis laboratorium terdapat tiga ordo tanah pada ketiga bentang lahan karst yakni ordo Inceptisol, Entisol dan Alfisol. (Ulfiyah. 2006)
Green Mountain dapat mengajarkan kita banyak kepentingan teoritis tentang bagaimana ekosistem yang dibangun dan fungsi. Hal ini juga memberi kita beberapa optimisme terbatas yang kita dapat menciptakan sistem yang mampu memberikan jasa ekosistem, seperti penyerapan karbon, dan membantu untuk mempertahankan proses ekologis penting dalam humandominated dunia. Namun demikian, artifisial dibangun sistem akan hilang beberapa keragaman dan regional keanehan yang begitu memikat naturalis. (David. 2004)
Vegetasi dikembangkan secara signifikan antara1997 dan 2002 pada transek barrens. Dalam 20 m dari refugia, mana gradien floristic yang terkuat, kesamaan antara sampel yang berdekatan telah meningkat tajam. Jadi vegetasi menjadi lebih homogen. Hal initidak mungkin bahwa proses ini akan menyebabkan tingkat tinggi kesamaan karena herba dan vegetasi semak rendah merespon banyak variabel yang menjaga heterogenitas. Ini termasuk variasi habitat (del Moral, 1993), gangguan berulang, dan herbivora lokal. Meningkatkan kesamaan antara sampel yang berdekatan dengan refugia dan barrens lebih jauh menyiratkan bahwa efek kompetitif dan ketekunan dari beberapa spesies mulai menimpa efek dari penyebaran lokal karena refugia. Dari 1997, parasut spesies (tidak termasuk spesies bantalan spora) menurun dalam mutlak penutup 1,40-0,70%. Glider tidak berubah (0,45 di 1997, 0,43 pada tahun 2002), sedangkan gelas meningkat dari 2,00 ke 3,57%. Spesies pionir lainnya meningkat kuat dari 0,30 ke 4,26%. Lagi tinggal, yang lebih besar, lebih gigih dan spesies yang mengerahkan dominasi atas spesies parasut yang dapat barrens menjajah segera setelah letusan dengan membangun populasi pada margin refugia ( Roger.2005)






BAB III
METODE

I.          Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 3 Desember 2011 di tiga kampung di Praci, dimana dalam satu kampung dilakukan wawancara dengan warga dan pengamatan di sisi utara, selatan, barat dan timur. Selain itu dilakukan pengamatan di Wanagama pada hari yang sama dengan satu stasiun yang dilakukan tiga kali ulangan. Pada hari Minggu, 4 Desember 2011 dilakukan wawancara disekitar Kampung Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran serta pengamatan dan pendakian ke Gunung Api Purba.

II.          Alat
A.    Keanekaragaman Tumbuhan Berkayu (Pohon dbh  > 10 cm dan Anak Pohon dbh 4 – 10 cm) (Flora I)
1.      Tali rafia                            secukupnya
2.      Patok                                 16 buah
3.      Meteran                             4 buah
4.      Kamera                              4 buah
5.      Penggaris dan alat tulis     4 set
B.     Keanekaragaman Herba Liar (Flora II)
1.      Tali rafia                            secukupnya
2.      Patok                                 16 buah
3.      Meteran                             4 buah
4.      Plastik                                secukupnya
5.      Kamera                              4 buah
6.      Kertas label                       secukupnya
7.      Alat tulis                            4 set
C.     Makrofauna Tanah (Fauna I)
1.      Plastik                                secukupnya
2.      Linggis                              4 buah
3.      Penggaris                           4 buah
4.      Kertas label                       secukupnya
5.      Alat tulis                            4 set
6.      Pinset                                 4 buah
7.      Sarung tangan                   4 buah
8.      Kamera                              4 buah
D.    Megafauna (Aves, Mamalia, Amfibia, Reptil) (Fauna II)
1.      Kamera                              4 buah
2.      Alat tulis                             4 set
E.     Wawancara Kebudayaan
1.      Kamera                               4 buah
2.      Kuisioner                            secukupnya
F.      Pengukuran Faktor Abiotik
1.      pH meter                           4 buah
2.      Soil tester                          4 buah
3.      Lux meter                          4 meter
4.      Termometer                       4 buah

III.          Bahan
A.  Keanekaragaman Tumbuhan Berkayu (Pohon dbh > 10 cm dan Anak Pohon dbh 4 – 10 cm) (Flora I)
1. Kuadrat (10 m x 10 m atau 5 m x 5 m)                             20  kuadrat
B.  Keanekaragaman Herba Liar (Flora II)
1. Kuadrat (50 cm x 50 cm) dan kelipatannya                      20  kuadrat
C.     Makrofauna Tanah (Fauna I)
1.    Formalin 4 %                                                                    secukupnya
2.    Kuadrat (30 cm x 30 cm) sedalam 30 cm                         20  kuadrat
D.  Megafauna (Aves, Mamalia, Amfibia, Reptil) (Fauna II)
1. Kuadrat (15 m x 15 m)                                                      20  kuadrat
E.   Wawancara Kebudayaan
1.    Warga kampung Praci, Wanagama, Nglanggeran            secukupnya

IV.          Cara Kerja
A.    Keanekaragaman Tumbuhan Berkayu (Pohon dbh > 10 cm dan Anak Pohon dbh 4 – 10 cm) (Flora I)
1.      Ditentukan stasiun pengukuran dengan pembagian plot – plot tiap stasiun, sisi sebelah barat, timur, selatan dan utara.
2.      Dibuat kuadrat pada setiap plot dengan ukuran (10 m x 10 m) atau (5 m x 5 m) menggunakan patok dan rafia.
3.      Semua spesies pohon dan anak pohon berkayu dalm kuadrat dicatat jumlahnya serta diameter batang setinggi dada (pohon dbh > 10 cm dan anak pohon dbh 4 – 10 cm).
4.      Identifikasi nama spesies (apabila belum diketahui nama spesiesnya dilakukan dokumentasi atau diambil contoh bagian – bagian dari tanaman tersebut).
5.      Hasil pengamatan ditabulasi dan dihitung nilai penting dan indeks diversitas Shannon – Wienner.
6.      Dilakukan karakterisasi pohon dan anak pohon spesimen spesifik di stasiun Nglanggeran (paling sering ditemui dan khas), dilakukan determinasi seperti membuat werstuk.
B.     Keanekaragaman Herba Liar (Flora II)
1.      Ditentukan lokasi sampling yang dominan ditumbuhi rumput atau herba liar.
2.      Dibuat kuadrat dengan ukuran (50 cm x 50 cm) kemudian dibuat daftar spesies rumput atau herba yang dijumpai, apabila nama spesies belum diketahui maka dilakukan koleksi atau didokumentasikan.
3.      Kuadrat diperlebar hingga 2x, 3x, 4x hingga ditemukan minimal 2 kuadrat dengan jumlah spesies yang stabil (tidak ditemukan spesies baru).
4.      Dihitung jumlah spesies rumput dan herba yang ditemukan dan jumlah individunya.
5.      Dihitung dominansi mutlak dan relatif, frekuensi mutlak dan frekuensi relatif, nilai penting, dan indeks keanekaragaman menggunakan ID Simpson.
6.      Dilakukan karakterisasi herba liar spesimen spesifik di stasiun Nglanggeran (paling sering ditemui dan khas), dilakukan determinasi seperti membuat werstuk.
C.     Makrofauna Tanah (Fauna I)
1.      Ditentukan lokasi sampling (4 lokasi galian)
2.      Dibuat kuadrat dengan ukuran (30 cm x 30 cm) menggunakan rafia.
3.      Dibuat lubang galian pada kuadrat tersebut sedalam 30 cm.
4.      Dilakukan pengamatan dan dicatat  jenis – jenis hewan yang tertangkap (dikarakterisasi morfologinya).
5.      Hewan tanah yang tertangkap dikoleksi dalam kantong plastik dan diberi formalin 4%.
6.      Dihitung Indeks Diversitas menggunakan ID Simpson.
7.      Dilakukan karakterisasi makrofauna tanah spesimen spesifik di stasiun Nglanggeran (paling sering ditemui dan khas), dilakukan determinasi.
D.    Megafauna (Aves, Mamalia, Amfibia, Reptil) (Fauna II)
1.      Lokasi sampling ditentukan.
2.      Kuadrat dinuat dengan ukuran (15 m x 15 m).
3.      Diamati dan dicatat jenis – jenis megafauna yang terlihat.
4.      Dilakukan dokumentasi untuk hewan yang belum diketahui namanya.
5.      Dihitung jumlah spesies yang ditemukan.
6.      Dilakukan koleksi apabila memungkinkan.
7.      Dilakukan karakterisasi megafauna  spesimen spesifik di stasiun Nglanggeran (paling sering ditemui dan khas), dilakukan determinasi.
E.     Wawancara Kebudayaan
1.      Dilakukan wawancara atau pembagian kuisioner kepada warga masyarakat sekitar.
2.      Dilakukan dokumentasi.
3.      Data yang didapat ditabulasi.
F.      Pengukuran Faktor Abiotik
1.      Dilakukan pengukuran faktor abiotik (pH tanah, kelembapan tanah, suhu udara dan intensitas cahaya) pada setiap plot dengan 3 kali ulangan.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil

Tabel 1. Flora 1 Tanaman Berkayu , Herba atau Pohon di Kawasan Praci
Plot I
Utara
Selatan
Barat
Timur
-          Jati
Jumlah=7
Kell=9,04cm
-          Kelapa
Jumlah=2
Kell=8,95cm
-          Randu
Jumlah=1
Kell=3,4cm
-          Lamtoro
Jumlah=1
Kell=2,6cm
-          Jati
Jumlah=1
Kell=14cm
-          Jati
Jumlah=5
Kell=58,2cm
-          Petai cina
Jumlah=7
Kell=29,85cm
-          Mangga
Jumlah=3
Kell =56,33cm
-          Nangka
Jumlah=2
Kell = 28cm
-          Akasia
Jumlah=1
Kell=21cm
-          Pisang
Jumlah=3
Kell rata-rata
=36cm
-          Mangga
Jumlah=2
Kell rata-rata
=62cm

Plot II
Utara
Selatan
Barat
Timur
-          Nangka
Jumlah 1
Kell=38cm
-          Jati
Jumlah= 7
Kell rata-rata=
13,64cm

-          Jati
Jumlah=2
Kell rata-rata=
24cm
-          Jati
Jumlah=1
Kell=12cm
-          Yodium
Jumlah=1
Kell=10cm
-          Mindi
Jumlah=1
Kell=10cm
-          Pepaya
Jumlah=1
Kell=35cm
-          Petai cina
Jumlah=1
Kell=9 cm
-          Jati
Jumlah=3
Kell rata-rata=
20,83cm

Plot III
Utara
Selatan
Barat
Timur
-          Jati
Jumlah=2
Kell rata-rata=11,25cm
-          Lamtoro
Jumlah= 1
Kell= 5cm
-          Nangka
Jumlah=3
Kell rata-rata=
45,5 cm
-          Jambu air
Jumlah=1
Kell=9,7cm
-          Kedondong
Jumlah=1
Kell=6,5cm
-          Nangka
Jumlah=1
Kell=25cm
-          Melinjo
Jumlah=1
Kell=116cm
-          Jati
Jumlah=2
Kell rata-rata
=58,5cm


Tabel 2. Flora 1 Tanaman Berkayu, Herba atau Pohon di Kawasan  Wanagama
Utara (plot 1)
Selatan (plot II)
Barat(plot III)
Timur (plot IV)
-          Mahoni
Jumlah=6
Kell rata-rata=12cm
-          Jati
Jumlah=5
Kell rata-rata=13cm
-          Akasia
Jumlah=4
Kell rata-rata=10cm

-          Mahoni
Jumlah=2
Kell rata-rata= 15cm
-          Akasia
Jumlah=3
Kell rata-rata=13cm
-          Akasia
Jumlah=3
Kell rata-rata
=31cm
-          Gambilana
Jumlah=5
Kell rata-rata
=10,6 cm
-          Bohemia
Jumlah=3
Kell rata-rata
=1,5cm
-          Jati
Jumlah=5
Kell rata-rata=30,3cm


Tabel 3. Flora 1 Tanaman Berkayu, Herba atau Pohon di Kawasan Nglanggeran Yogyakarta
Plot I
Plot II
Plot III
Plot IV
-          Akasia
Jumlah=11
Kell rata-rata=32,94cm
-          Juwet
Jumlah=1
Kell=25cm
-          Anacardium
Jumlah=1
Kell=70cm

-          Pule ireng
Jumlah=8
Kell rata-rata
=39,53 cm
-          Rempeni
Jumlah=5
Kell rata-rata
=5,3cm
-          Akasia
Jumlah=2
Kell rata-rata
=129cm
-          Mahoni
Jumlah=13
Kell rata-rata
=19,61cm
-          Sengon
Jumlah=1
Kell=96cm
-          Juwet
Jumlah=1
Kell=61,7cm
-          Lirisidi
Jumlah=1
Kell=36cm
-          Lirisidi
Jumlah=10
Kell rata-rata
=27,04cm
-          Juwet
Jumlah=1
Kell=45cm
-          Mahoni
Jumlah=1
Kell=77cm


Tabel 4. Pengukuran Faktor Abiotik di Kawasan Praci
No
Parameter
Plot 1
Plot II
Plot III
Hasil Rata-rata
1.
Suhu OC
28
29
29
28,67
2.
pH
6
6,5
6,8
6,4
3.
Kelembaban
10
10
10
10
4.
Intensitas cahaya
368x10
518x10
354x10
413,3x10

            Tabel 5. Pengukuran Faktor Abiotik Kawasan Wanagama
No
Parameter
Plot I (Utara)
Plot II
(Selatan)
Plot III
(Barat)
Plot IV
(Timur)
Hasil rata-rata
1.
Suhu
26
28
27
26
26,75
2.
pH
6
6,5
6,5
6
6,25
3.
Kelembaban
10
10
10
10
10
4.
Intensitas cahaya
790x10
513x10
740x10
690x10
683,25x10

            Tabel 6. Pengukuran Faktor Abiotik Kawasan Nglanggeran Yogyakarta
No.
Parameter
Plot I
Plot II
Plot III
Hasil rata-rata
1
Suhu
24,5
24
27
25,16
2
pH
7
7
7
7
3
Kelembaban
1
1
1
1
4
Intensitas cahaya
1995x10
900x10
750x10
1215x10

            Tabel 7. Indeks Diversitas
a.      Indek Diversitas Pracimantoro

Arah
Plot
Species
ID
Utara
1
Jati
0
2
Nangka
0,113
Jati
0,05
3
Jati
0,116
Lamtoro
0,158
Selatan
1
Kelapa
0,156
Randu
0,138
Lamtoro
0,138
Jati
0,138
2
Jati
0
3
Nangka
0
Barat
1
Jati
0,155
Petai Cina
131
Nangka
0,104
Akasia
0,104
2
Jati
0,138
Yodium
0,138
Mindi
0,138
Pepaya
0,138
Petai Cina
0,138
3
Jambu
0,15
Kedondong
0,15
Nangka
0,15
Melinjo
0,15
Timur

1
Pisang
0,132
Mangga
0,156
2
Jati
0
3
Jati
0

b.      Indeks Diversitas Wanagama

Plot
Species
ID
1
Mahoni
0,156
Jati
0,158
Akasia
0,154
2
Mahoni
0,156
Akasia
0,132
3
Akasia
0,151
Gambilina
0,153
Bohemia
0,151
4
Jati
0



c.       Indeks Diversitas Nglanggeran

Plot
Species
ID
1
Akasia
0,059
Juwet
0,085
Annacardium
0,085
2
Pule ireng
0,128
Rumpeni
0,16
Akasia
0,123
3
Mahoni
0,0729
Sengon
0,0732
Juwet
0,0732
Lirisidi
0,0732
4
Lirisidi
0,0664
Mahoni
0,089


B.       Pembahasan
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan keanekaragaman hayati ekosistem pegunungan karst, mengetahui penyebaran spesies dan kondisi abiotik ekosistem, menganalisa keragaman spesies, identifikasi biota dan komposisi vegetasi ekosistem pegunungan karst, serta mengetahui struktur, karakter, dan komposisi spesies ekosistem pegunungan karst.
Pada suatu kawasan distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan dalam arti luas. Beberapa jenis tumbuhan dalam hutan tropika teradaptasi dengan kondisi dibawah kanopi, tengah, dan di atas kanopi yang intensitas cahayanya berbeda-beda. Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk hidup dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap factor abiotik atau lingkungan fisik.
Adapun faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi keanekaragaman organisme pada suatu kawasan adalah
1.      Intensitas cahaya
Intensitas cahaya berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban. Intensitas cahaya berbanding terbalik dengan kelembaban dan berbanding lurus dengan suhu. Intensitas cahaya akan menentukan tingkat pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme karena cahaya merupakan materi yang dibutuhkan oleh setiap organisme untuk bertahan hidup. Dari hasil pengukuran, didapatkan hasil intensitas cahaya di daerah Praci=413,3x10,
Intensitas cahaya di Wanagama=683,25x10, intensitas cahaya di daerah Nglanggeran Yogyakarta=1215x10.
2.      Kelembaban tanah
Kelembaban tanah berpengaruh terhadap suhu dan banyaknya cahaya yang sampai ke bumi. Semakin lembab suatu tempat maka semakin rendah suhunya.  Kelembaban tanah di daerah Praci=10, kelembaban tanah di daerah Wanagama=10, kelembaban tanah di daerah Nglanggeran Yogyakarta=1.
3.      pH tanah
pH tanah menunjukkan derajat keasaman suatu habitat. Keasaman tanah disebabkan sedikitnya serasah-serasah daun yang membusuk dan bahan organik yang terdapat di dalam tanah. Keasaman tanah yang mendukung untuk pertumbuhan serangga adalah pH normal yaitu sekitar 7. Derajat keasaman (pH) adalah ukuran untuk menentukan sifat asam dan basa. Perubahan pH di suatu air sangat berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, maupun biologi dari organisme yang hidup di dalamnya. Derajat keasaman diduga sangat berpengaruh terhadap daya racun bahan pencemaran dan kelarutan beberapa gas, serta menentukan bentuk zat didalam air. Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (kosentrasi ion hidrogen) air limbah. Skala pH berkisar antara 1-14. Kisaran nilai pH 1-7 termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah kondisi netral. pH tanah di daerah Praci=6,4; pH tanah di Wanagama=6,25; pH tanah di daerah Nglanggeran Yogyakarta=7.
4.      Suhu
Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme sel organisme. Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan kecepatan proses metabolisme sel dan respirasi organisme, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan dekomposisi bahan organik mikroba. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan organisme adalah antara 20–30°C. Pengukuran suhu di daerah Praci=28,67; pengukuran di daerah Wanagama=26,75; pengukuran suhu di Nglanggeran Yogyakarta=25,16

Keanekaragam flora yang terdapat pada kawasan praktikum kali sangat dipengaruhi oleh factor abiotik yang terdapat dikawasan tersebut, flora yang terdapat pada kawasan Praci, wanagama dan Ngelanggeran antara lain adalah

1.           Jati (Tectona grandis)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Asteridae
Ordo                : Lamiales
Famili              : Lamiaceae
Genus              : Tectona
Spesies            : Tectona grandis
DESKRIPSI:
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau.
Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis.
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan 1"germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara "konvensional dengan menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras. Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri. Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.
FUNGSI EKOLOGI: Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba. Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati. Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki "aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P).
2.      Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Dilleniidae
Ordo                : Urticales
Famili              : Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus              : Artocarpus
Spesies            : Artocarpus heterophyllus Lam.

DESKRIPSI:
Pohon nangka umumnya berukuran sedang, sampai sekitar 20 m tingginya, walaupun ada yang mencapai 30 meter. Batang bulat silindris, sampai berdiameter sekitar 1 meter. Tajuknya padat dan lebat, melebar dan membulat apabila di tempat terbuka. Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai.
Buah majemuk (syncarp) berbentuk gelendong memanjang, seringkali tidak merata, panjangnya hingga 100 cm, pada sisi luar membentuk duri pendek lunak. 'Daging buah', yang sesungguhnya adalah perkembangan dari tenda bunga, berwarna kuning keemasan apabila masak, berbau harum-manis yang keras, berdaging, kadang-kadang berisi cairan (nektar) yang manis. Biji berbentuk bulat lonjong sampai jorong agak gepeng, panjang 2-4 cm, berturut-turut tertutup oleh kulit biji yang tipis coklat seperti kulit, endokarp yang liat keras keputihan, dan eksokarp yang lunak. Keping bijinya tidak setangkup.
Fungsi ekologi : Pohon nangka dapat digunakan dalam penghijauan. Pohon nangka berakar tunggang sehingga mampu mencegah erosi. Disamping itu pohon tersebut juga mneghasilkan buah yang dpat dikonsumsi. Daun nangka di konsumsi oleh hewan-hewan ternak maupun serangga.
3.      Petai cina (Leucaena leucocephala)
Klasifikasi:
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Fabales
Famili              : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus              : Leucaena
Spesies            : Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit

DESKRIPSI:
Pohon atau perdu, tinggi hingga 20m; meski kebanyakan hanya sekitar 10m. Percabangan rendah, banyak, dengan pepagan kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-ranting bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat. 3025Daun majemuk menyirip rangkap, sirip 3—10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, segitiga. Anak daun tiap sirip 5—20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6—16(—21) mm × 1—2(—5) mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.3025
Buah polong bentuk pita lurus, pipih dan tipis, 14—26 cm × 1.5—2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya coklat kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Berisi 15—30 biji yang terletak melintang dalam polongan, bundar telur terbalik, coklat tua mengkilap, 6—10 mm × 3—4.5 mm.
FUNGSI EKOLOGI:
Lamtoro, petai cina, atau petai selong adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae (=Leguminosae, polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun dimasukkan ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutananHYPERLINK  \l "cite_note-heyne_885.
4.      Mahoni (Swietenia mahagoni)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Sapindales
Famili              : Meliaceae
Genus              : Swietenia
Spesies            : Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
DESKRIPSI:
Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat. Biji pipih, warnanya hitam atau cokelat. Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-ternpat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Tanaman yang asalnya dari Hindia Barat ini, dapat tumbuh subur bila tumbuh di pasir payau dekat dengan pantai.HYPERLINK  \l "cite_note-"
Fungsi ekologi: Pohon mahoni bisa mengurangi polusi udara sekitar 47% - 69% sehingga disebut sebagai pohon pelindung sekaligus filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daunnya bertugas menyerap polutan-polutan di sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen (O2) yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar. Ketika hujan turun, tanah dan akar-akar pepohonan itu akan mengikat air yang jatuh, sehingga menjadi cadangan air. Buah mahoni memiliki zat bernama flavonolds dan saponins. "Flavonolds sendiri dikenal berguna untuk melancarkan peredaran darah sehingga para penderita penyakit yang menyebabkan tersumbatnya aliran darah disarankan memakai buah ini sebagai obat.HYPERLINK  \l "cite_note-urip-"
5.      AKASIA MANGIUM (Acacia mangium)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Fabales
Famili              : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus              : Acacia
Spesies            : Acacia mangium Willd.
DESKRIPSI:
Akasia adalah genus dari semak-semak dan pohon yang termasuk dalam subfamili "Mimosoideae dari famili Fabaceae, pertama kali diidentifikasi di Afrika oleh ahli botani Swedia Carl Linnaeus tahun 1773. Banyak spesies Akasia non-Australia yang cenderung berduri, sedangkan mayoritas Akasia Australia tidak. Akasia adalah tumbuhan polong, dengan getah dan daunnya biasanya mempunyai bantalan tannin dalam jumlah besar. Nama umum ini berasal dari ακακία (akakia), nama yang diberikan oleh dokter-ahli botani Yunani awal "Pedanius Dioscorides (sekitar 40-90 Masehi) untuk pohon obat 1"A. nilotica dalam bukunya "Materia Medica. Nama ini berasal dari kata bahasa Yunani karena karakteristik tanaman Akasia yang berduri, ακις (akis, "duri"). Nama spesies nilotica diberikan oleh Linnaeus dari jajaran pohon Akasia yang paling terkenal di sepanjang sungai Nil.
FUNGSI EKOLOGI: Akar akasia mampu menahan tanah dan menahan air sehingga mencegah terjadinya erosi dan banjir. daun akasia adalah makanan dari gajah, sehingga keberadaannya mempengaruhi populasi hewan pemakan daun terutama gajah.
6.      Duwet (Syzygium cumini)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Myrtales
Famili              : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus              : Syzygium
Spesies            : Syzygium cumini (L.) Skeels
DESKRIPSI:
Pohon yang kokoh dan tidak menggugurkan daun, kadang-kadang berbatang bengkok, tinggi hingga 20 m dan gemang mencapai 90 cm. Bercabang rendah dan bertajuk bulat atau tidak beraturan. Daun-daunnya terletak berhadapan, bertangkai 1-3,5 cm. Helaian daun bundar telur terbalik agak jorong sampai jorong lonjong, 5-25 x 2-10 cm, pangkal berbentuk pasak atau membundar, ujung tumpul atau agak melancip, bertepi rata, men1"jangat tebal dengan tepi yang tipis dan agak tembus pandang. Hijau tua berkilat di sebelah atas, daun jamblang agak berbau "terpentin apabila diremas. Daun yang muda berwarna merah jambu.
Buah buni berbentuk lonjong sampai bulat telur, sering agak bengkok, 1-5 cm, bermahkota cuping kelopak, dengan kulit tipis licin mengkilap, merah tua sampai ungu kehitaman, kadang-kadang putih. Sering dalam gerombolan besar. Daging buah putih, kuning kelabu sampai agak merah ungu, hampir tak berbau, dengan banyak sari buah, sepat masam sampai masam manis. Biji lonjong, sampai 3,5 cm.
FUNGSI EKOLOGI: Pohon jamblang juga sering ditanam sebagai pohon peneduh di pekarangan dan perkebunan (misalnya untuk meneduhi tanaman kopi), atau sebagai penahan angin (wind break). Bunga-bunganya baik sebagai pakan lebah madu.

7.      JAMBU METE (Anacardium occidentale) L
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Sapindales
Famili              : Anacardiaceae
Genus              : Anacardium
Spesies            : Anacardium occidentale L.
DESKRIPSI:
Pohon berukuran sedang, tinggi sampai dengan 12 m, dengan tajuk melebar, sangat bercabang-cabang, dan selalu hijau. Tajuk bisa jadi tinggi dan menyempit, atau rendah dan melebar, bergantung pada kondisi lingkungannya.
Daun-daun terletak pada ujung ranting. Helai daun bertangkai, bundar telur terbalik, kebanyakan dengan pangkal meruncing dan ujung membundar, melekuk ke dalam, gundul, 8–22 × 5–13 cm. 28nux.29"Buah geluk berwarna coklat tua, membengkok, tinggi lk 3 cm.
1FUNGSI EKOLOGI: Tanaman ini berfungsi sebagai produsen. daunnya di konsumsi hewan-hewan pemakan daun. Pohonnya yang rindang juga digunakan sebagai peneduh.  Buah sejatinya yang berupa biji dikonsumsi oleh hewan-hewan pemakan biji.
8.      KELAPA (Cocos nucifera)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas        : Arecidae
Ordo                : Arecales
Famili              : Arecaceae (suku pinang-pinangan)
Genus              : Cocos
Spesies            : Cocos nucifera L.
Deskripsi:
Pohon dengan batang tunggal atau kadang-kadang bercabang. Akar serabut, tebal dan berkayu, berkerumun membentuk bonggol, adaptif pada lahan berpasir pantai. Batang beruas-ruas namun bila sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe monokotil dengan pembuluh menyebar (tidak konsentrik), berkayu. Kayunya kurang baik digunakan untuk bangunan. Daun tersusun secara majemuk, menyirip sejajar tunggal, pelepah pada ibu tangkai daun pendek, duduk pada batang, warna daun hijau kekuningan. Buah besar, diameter 10 cm sampai 20 cm atau bahkan lebih, berwarna kuning, hijau, atau coklat; buah tersusun dari "mesokarp berupa serat yang berlignin, disebut sabut, melindungi bagian endokarp yang keras (disebut 1"batok) dan kedap air; endokarp melindungi biji yang hanya dilindungi oleh membran yang melekat pada sisi dalam endokarp. "Endospermium berupa cairan yang mengandung banyak enzim, dan fasa padatannya mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua; embrio kecil dan baru membesar ketika buah siap untuk berkecambah (disebut kentos).
Fungsi ekologi: Kelapa adalah pohon serba guna bagi masyarakat tropika. Hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan orang. Akar kelapa menginspirasi penemuan teknologi penyangga bangunan Cakar Ayam.
Batangnya, yang disebut glugu dipakai orang sebagai kayu dengan mutu menengah, dan dapat dipakai sebagai papan untuk rumah. Daunnya dipakai sebagai atap rumah setelah dikeringkan. Daun muda kelapa, disebut janur, dipakai sebagai bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk hiasan yang sangat menarik, terutama oleh masyarakat Jawa dan Bali dalam berbagai upacara, dan menjadi bentuk kerajinan tangan yang berdiri sendiri (seni 1"merangkai janur). Tangkai anak daun yang sudah dikeringkan, disebut lidi, dihimpun menjadi satu menjadi sapu.
Tandan bunganya, yang disebut mayang (sebetulnya nama ini umum bagi semua bunga palma), dipakai orang untuk hiasan dalam upacara perkawinan dengan simbol tertentu. Bunga betinanya, disebut bluluk (bahasa Jawa), dapat dimakan. Cairan manis yang keluar dari tangkai bunga, disebut (air) nira atau legèn (bhs. Jawa), dapat diminum sebagai penyegar atau difermentasi menjadi tuak.
Buah kelapa adalah bagian paling bernilai ekonomi. Sabut, bagian mesokarp yang berupa serat-serat kasar, diperdagangkan sebagai bahan bakar, pengisi jok kursi, anyaman tali, keset, serta 1"media tanam bagi anggrek. Tempurung atau batok, yang sebetulnya adalah bagian endokarp, dipakai sebagai bahan bakar, pengganti 1"gayung, wadah minuman, dan bahan baku berbagai bentuk "kerajinan tangan.
Endosperma buah kelapa yang berupa cairan serta endapannya yang melekat di dinding dalam batok ("daging buah kelapa") adalah sumber penyegar populer. Daging buah muda berwarna putih dan lunak serta biasa disajikan sebagai es kelapa muda atau es degan. Cairan ini mengandung beraneka enzim dan memilki khasiat penetral racun dan efek penyegar/penenang. Beberapa kelapa bermutasi sehingga endapannya tidak melekat pada dinding batok melainkan tercampur dengan cairan endosperma. Mutasi ini disebut (kelapa) kopyor. Daging buah tua kelapa berwarna putih dan mengeras. Sarinya diperas dan cairannya dinamakan santan. Daging buah tua ini juga dapat diambil dan dikeringkan serta menjadi komoditi perdagangan bernilai, disebut kopra. Kopra adalah bahan baku pembuatan minyak kelapa dan turunannya. Cairan buah tua kelapa biasanya tidak menjadi bahan minuman penyegar dan merupakan limbah industri kopra. Namun demikian dapat dimanfaatkan lagi untuk dibuat menjadi bahan semacam jelly yang disebut nata de coco dan merupakan bahan campuran minuman penyegar. Daging kelapa juga dapat dimanfaatkan sebagai penambah aroma pada daging serta dapat dimanfaatkan sebagai obat rambut yang rontok dan mudah patah.
9.      RANDU (Ceiba pentandra L. Gaertn)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Dilleniidae
Ordo                : Malvales
Famili              : Bombacaceae
Genus              : Ceiba
Spesies            : Ceiba pentandra L. Gaertn
Deskripsi:
Merupakan pohon dengan tinggi mencapai 70 m. Akar menyebar horizontal, di permukaan tanah. Batang dengan atau tanpa cabang, kadang-kadang berduri. Daun majemuk, berseling; memanjang - lanset, gundul. Bunga bisexual; kelopak menggenta, di bagian luar gundul; mahkota bunga memanjang-bulat telur terbalik, bersatu pada pangkal, biasanya berwarna putih kotor dengan bau seperti susu, di bagian dalam gundul dan di bagian luar berambut lebat seperti sutra; benang sari bersatu pada pangkal dalam kolom staminal, kepala sari bergelung atau seperti ginjal. Buah ketika masak berubah menjadi coklat, dengan banyak biji. Biji bulat telur, coklat tua, putih, kuning muda atau berwarna seperti sutra.
Fungsi ekologi: Buah Ceiba pentandra merupakan sumber serat, digunakan untuk bahan dasar matras, bantal, hiasan dinding, pakaian pelindung dan penahan panas dan suara. Tali pinggang untuk menolong orang yang tenggelam ("lifebelts") dan jaket penolong ("life-jackets") dibuat dari serat kapuk, tetapi hanya efektif ketika tidak ada minyak didalam air. Selama Perang Dunia Kedua banyak orang tenggelam karena jaket penolong mereka kehilangan daya mengapungnya; sekarang digunakan bahan sintetik. Di Jawa, plasenta dihancurkan untuk memproduksi serat kapuk kualitas sekunder untuk membuat matras yang lebih murah dan sebagai penyerap air laut yang terkontaminasi minyak. Bahan plasenta juga digunakan untuk mengkultur jamur. Kulit buah sebagai pengganti bahan kertas untuk pembuatan kertas di Jawa.; Kulit kaya akan potasium dan abu yang dapat digunakan sebagai pupuk.
10.  Mangga (Mangifera indica L.)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Sapindales
Famili              : Anacardiaceae
Genus              : Mangifera
Spesies            : Mangifera indica L.
Deskripsi:
Pohon mangga berperawakan besar, dapat mencapai tinggi 40 m atau lebih, meski kebanyakan mangga peliharaan hanya sekitar 10 m atau kurang. Batang mangga tegak, bercabang agak kuat; dengan daun-daun lebat membentuk tajuk yang indah berbentuk kubah, oval atau memanjang, dengan diameter sampai 10 m. Kulit batangnya tebal dan kasar dengan banyak celah-celah kecil dan sisik-sisik bekas tangkai daun. Warna pepagan (kulit batang) yang sudah tua biasanya coklat keabuan, kelabu tua sampai hampir hitam.
Daun yang masih muda biasanya bewarna kemerahan, keunguan atau kekuningan; yang di kemudian hari akan berubah pada bagian permukaan sebelah atas menjadi hijau mengkilat, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda. Umur daun bisa mencapai 1 tahun atau lebih.
Bunga mangga biasanya bertangkai pendek, jarang sekali yang bertangkai panjang, dan berbau harum. Bakal buahnya tidak bertangkai dan terdapat dalam suatu ruangan, serta terletak pada suatu piringan. Tangkai putik mulai dari tepi bakal buah dan ujungnya terdapat kepala putik yang bentuknya sederhana. Dalam suatu bunga kadang-kadang terdapat tiga bakal buah.
Buah mangga termasuk kelompok buah batu (drupa) yang berdaging, dengan ukuran dan bentuk yang sangat berubah-ubah bergantung pada macamnya, mulai dari bulat (misalnya mangga gedong), bulat telur (gadung, indramayu, arumanis) hingga lonjong memanjang (mangga golek). Kulit buah agak tebal berbintik-bintik kelenjar; hijau, kekuningan atau kemerahan bila masak.
Fungsi ekologi: Mangga terutama ditanam untuk buahnya. Buah yang matang umum dimakan dalam keadaan segar, sebagai 1"buah meja atau campuran es, dalam bentuk irisan atau diblender. Buah yang muda kerapkali dirujak, atau dijajakan di tepi jalan setelah dikupas, dibelah-belah dan dilengkapi bumbu garam dengan cabai. Buah mangga juga diolah sebagai 1"manisan, irisan buah kering, dikalengkan dan lain-lain. Biji mangga dapat dijadikan pakan ternak atau unggas; di India bahkan dijadikan bahan pangan di masa paceklik. Daun mudanya dilalap atau dijadikan sayuran. Kayu mangga cukup kuat, keras dan mudah dikerjakan; namun kurang awet untuk penggunaan di luar. Kayu ini juga dapat dijadikan arang yang baik.
Daun mangga mengandung senyawa organik "tarakserol-3beta dan ekstrak etil asetat yang bersinergis dengan insulin mengaktivasi 4"GLUT4, dan menstimulasi sintesis glikogen, sehingga dapat menurunkan gejala hiperglisemia.
11.  PISANG (Musa paradisiaca)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom:   Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas        : Commelinidae
Ordo                : Zingiberales
Famili              : Musaceae (suku pisang-pisangan)
Genus              : Musa
Spesies            : Musa paradisiaca
Deskripsi:
Pisang termasuk klas tanaman monokotil. tanamnanya berupa semak aatu pohon yang kerap kali dengan batang semu yang terdiri dari pelepah daun. daun terdiri dari dua baris atau spiral dengan pelepah yang tumbuh sempurna. berumpun dengan akar rimpang. Tinggi 3,5-7,5 cm. Daun-daun tersebar; helaian daun berbentuk lanset memanjang. Bunga berkelamin satu dan berumah satu dalam satu tandan. Tandan bertangkai 0,5-1,5 m dengan daun penumpu yang berjejal rapat dan tersusun spiral. Daun pelindung tandan berwarna merah tua, berlilin, mudah rontok dengan panjang 10-25 cm yang masing-masing dalam ketiaknya terdapat banyak bunga yang tersusun dalam dua baris melintang. Bagian ujung tandan yang belum terbuka, masih menggantung. Bunga betina di bawah, yang jantan di atas. Benang sari lima dan pada bunga betina tidak sempurna.
Fungsi ekologi: Bonggol pisang biasanya digunakan sebagai tempat tinggal maupun sebagai sumber makanan untuk hewan-hewan makrofauna tanah seperti cacing, semut, dan lain-lain. Daun pisang juga sebagai makanan bagi hewan-hewan herbivora terutama serangga.

12.  MINDI (Melia azedarach L.)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Sapindales
Famili              : Meliaceae
Genus              : Melia
Spesies            : Melia azedarach L.

Deskripsi:
Tanaman mindi (Melia azedarach L) pada umumnya berbuah pada bulan Desember-Januari, walaupun ada sebagian kecil yang masih berbuah diluar bulan-bulan tersebut
Buah mindi merupakan buah batu (drupe). Buah yang masak dicirikan oleh warna kulit buah kuning, berukuran 1,0-1,8 cm dan bersifat polyembrioni, dimana dalam satu benih terdapat empat hingga enam lokus yang masing-masing berisi satu benih berukuran kecil . Pohon mindi memiliki sebaran alami di India dan Burma kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk di Indonesia (Wardani, 2001). Di Indonesia jenis ini tersebar di pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pohon mindi tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada 0-1200 meter diatas permukaan laut. Dapat tumbuh pada suhu -5OC sampai dengan 39OC, dengan curah hujan rata-rata pertahun 600-2000 mm.
Fungsi ekologi: Tanaman mindi merupakan tanaman serbaguna karena seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan. Kayu Mindi dapat digunakan untuk venir indah, mebel, bahan baku lantai kayu dan barang kerajinan lainnya. Kayu mindi dapat digunakan untuk kotak kayu, batang korek api, papan dan papan bangunan serta vinir hias. Bahan aktif yang terkandung dalam tanaman mindi adalah azadirachtin, selanin dan meliantriol. Daun dan biji mindi dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati dengan cara menghaluskan lalu mencampurnya dengan air atau pelarut lain. Biji mindi dengan konsentrasi sekitar 5% yang dilarutkan dalam air dan ditambah sedikit deterjen dapat digunakan sebagai insektisida. Sekitar 50 gram daunnya yang direndam dalam 1 liter air dengan sedikit deterjen dan diendapkan semalam dapat digunakan sebagai insektisida, selain itu ekstrak daun mindi digunakan sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang.
Kulit mindi berguna sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus sedangkan kulit, daun, dan akar tanaman mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak dan radang.
13.  PEPAYA (Carica papaya L.)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Dilleniidae
Ordo                : Violales
Famili              : Caricaceae
Genus              : Carica
Spesies            : Carica papaya L.

Deskripsi:
Pohon pepaya umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit, tumbuh hingga setinggi 5-10 m dengan daun-daunan yang membentuk serupa spiral pada batang pohon bagian atas. Daunnya menyirip lima dengan tangkai yang panjang dan berlubang di bagian tengah. Bentuknya dapat bercangap ataupun tidak. Pepaya kultivar biasanya bercangap dalam.
Bentuk buah bulat hingga memanjang, dengan ujung biasanya meruncing. Warna buah ketika muda hijau gelap, dan setelah masak hijau muda hingga kuning. Bentuk buah membulat bila berasal dari tanaman betina dan memanjang (oval) bila dihasilkan tanaman banci. Tanaman banci lebih disukai dalam budidaya karena dapat menghasilkan buah lebih banyak dan buahnya lebih besar. Daging buah berasal dari karpela yang menebal, berwarna kuning hingga merah, tergantung varietasnya. Bagian tengah buah berongga. Biji-biji berwarna hitam atau kehitaman dan terbungkus semacam lapisan berlendir (pulp) untuk mencegahnya dari kekeringan. Dalam budidaya, biji-biji untuk ditanam kembali diambil dari bagian tengah buah.
14.  JAMBU AIR (Eugenia aquea Burm.F)
Klasifikasi
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Myrtales
Famili              : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus              : Eugenia
Spesies            : Eugenia aquea Burm.F

Deskripsi:
Jambu air umumnya berupa perdu, dengan tinggi 3-10 m. Sering dengan batang bengkak-bengkok dan bercabang mulai dari pangkal pohon, kadang-kadang gemangnya mencapai 50 cm.
Buah bertipe buah buni, berbentuk gasing dengan pangkal kecil dan ujung yang sangat melebar (sering dengan lekukan sisi yang memisahkan antara bagian pangkal dengan ujung); Daging buah putih, banyak berair, hampir tidak beraroma; berasa asam atau asam manis, kadang-kadang agak sepat. Biji berukuran kecil, 1-2(-6) butir
Fungsi ekologi: Jambu air, seperti halnya jambu semarang dan jambu bol, biasa disajikan sebagai buah meja. Ketiga jenis jambu ini memiliki pemanfaatan yang kurang lebih serupa dan dapat saling menggantikan. Buah-buah ini umumnya dimakan segar, atau dijadikan sebagai salah satu bahan rujak. Aneka jenis jambu ini juga dapat di1"setup atau dijadikan asinan.  Kayunya yang keras dan berwarna kemerahan cukup baik sebagai bahan bangunan, asalkan tidak kena tanah. Hanya biasanya ukurannya terlalu kecil. Baik pula digunakan sebagai "kayu bakar.
15.  Sengon  (Albizia falcataria)
Klasifikasi
Kingdom
              : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom         : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi          : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi                    : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas                    : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas            : Rosidae
Ordo                    : Fabales
Famili                  : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus                  : Albizia
Spesies                : Albizia falcataria (L.) Fosberg

Deskripsi:
Sengon atau albasia (parasenanthes falcataria/albizia falcatara), kadang-kadang orang menyebutnya jeungjing, merupakan tanaman kayu yang dapat mencapai diameter cukup besar apabila telah mencapai umur tertentu. Tanaman sengon dapat tumbuh pada sebaran kondisi iklim yang sangat luas, dengan demikian dapat tumbuh dengan baik hampir di sembarang tempat.
Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung dengan rimbun daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan karbon dioksida dari udara bebas.
Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus kedalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi subur.
Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6 – 12 cm. Setiap polong buah berisi 15 – 30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika sudah tua biji akan berwarna coklat kehitaman,agak keras, dan berlilin.
16.  MELINJO (Gnetum gnemon L.)
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Gnetophyta
Kelas: Gnetopsida
Ordo: Gnetales
Famili: Gnetaceae
Genus: Gnetum
Spesies: Gnetum gnemon L.

Deskripsi:
Melinjo merupakan tumbuhan tahunan 1"berbiji terbuka, berbentuk pohon yang be1"rumah dua (dioecious, ada individu jantan dan betina). Bijinya tidak terbungkus daging tetapi terbungkus kulit luar. Batangnya kokoh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Daunnya tunggal berbentuk "oval dengan ujung tumpul. Melinjo tidak menghasilkan bunga dan buah sejati karena bukan termasuk tumbuhan berbunga. Yang dianggap sebagai buah sebenarnya adalah biji yang terbungkus oleh selapis "aril yang berdaging.
Tanaman melinjo dapat tumbuh pada tanah-tanah liat/lempung, berpasir dan berkapur, tetapi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air atau yang berkadar asam tinggi dan dapat tumbuh dari ketinggian 0 - 1.200 m dpl. Lahan yang akan ditanami melinjo harus terbuka atau terkena sinar matahari, lubang tanam berukuran 60 X 60 X 75 cm, dengan jarak tanam 6 - 8 m.
Melinjo dapat ditemukan di daerah yang kering sampai tropis./l0"[1] Untuk tumbuh dan berkembang, melinjo tidak memerlukan tanah yang bernutrisi tinggi atau iklim khusus. Melinjo dapat beradaptasi dengan rentang suhu yang luas. Hal inilah yang menyebabkan melinjo sangat mudah untuk ditemukan di berbagai daerah kecuali daerah pantai karena tumbuhan ini tidak dapat tumbuh di daerah yang memiliki kadar garam yang tinggi.
Fungsi ekologi:
Melinjo jarang dibudidayakan secara intensif. Kayunya dapat dipakai sebagai bahan papan dan alat rumah tangga sederhana. Daun mudanya (disebut sebagai so dalam bahasa Jawa) digunakan sebagai bahan sayuran (misalnya pada sayur asem). Bunga (jantan maupun betina) dan bijinya yang masih kecil-kecil (pentil) maupun yang sudah masak dijadikan juga sebagai sayuran. Biji melinjo juga menjadi bahan baku emping. Kulitnya bisa dijadikan abon kulit melinjo.0
Indeks diversitas adalah nilai yang menyatakan tinggi rendahnya keberagaman spesies-spesies penyusun suatu komunitas pada suatu area tertentu. Nilai ini dapat menunjukkan atau berfungsi sebagai indikator kestabilan ekosistem. Semakin tinggi indeks diversitas, maka semakin stabil ekosistemnya. Terdapat berbagai pendekatan statistik yang digunakan untuk menyatakan atau menghitung indeks diversitas, antara lain:
ID Simpson (D)= 1-∑ (pi)^2
ID Shannon-Wienner (H)= -∑ pi logpi
Keterangan:
pi = nilai pi sering dinyatakan dengan m/M; m adalah nilai penting suatu spesies. M adalah total nilai penting seluruh spesies. Namun dalam praktikum ini, hanya digunakan pendekatan statistik dengan rumus ID Shannon – Wienner.
Berdasarkan hasil perhitungan, secara keseluruhan spesies yang memiliki indeks diversitas tertinggi adalah Petai Cina yang terdapat pada wilayah Pracimantoro bagian barat dengan nilai 0,159, Jati yang terdapat pada wilayah Wanagama dengan nilai 0,158, dan Rumpeni yang terdapat pada wilayah Nglanggeran 0,16. Namun dari ketiga wilayah tersebut, Rumpeni memiliki indeks diversitas paling tinggi.
Nilai indeks diversitas berkisar antara 0-7. ID dinyatakan rendah apabila nilainya lebih kecil dari 2, dinyatakan sedang apabila nilainya berkisar 2-4, dan dinyatakan tinggi apabila nilainya lebih besar dari 4. Berdasarkan ketentuan tersebut, keanekaragaman jenis di area kajian tergolong rendah. Hal ini berhubungan dengan dengan faktor abiotik dan kompetisi antarspesies yang akhirnya menimbulkan dominansi spesies tertentu. ID digunakan untuk mempelajari pengaruh dari gangguan tehadap lingkungan atau untuk mengetahui tahap suksesi dan kestabilan dari komunitas tumbuhan.
Profil Gunung  Api Purba Nglanggeran
Gunung Nglanggeran terletak di desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk kabupaten Gunungkidul. Berada dikawasan Baturagung di bagian utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl dengan suhu udara rata-rata 23˚ C – 27˚ C, jarak tempuh 20 km dari kota Wonosari dan 25 km dari kota Yogyakarta. Ada 2 jalur jalan untuk menuju Objek Wisata ini melalui jalan aspal yang mulus, jika dari arah Wonosari kita melewati Bunderan Sambipitu, ambil kanan arah ke dusun Bobung/kerajinan Topeng, kemudian menuju Desa Nglanggeran ( Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ). Jika dari arah Jogjakarta : Bukit Bintang Patuk, Radio GCD FM belok kiri kira-kira 7 KM ( arah desa Ngoro-oro lokasi stasiun-stasiun Transmisi ), menuju desa Nglanggeran (Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ).
Kawasan ini merupakan kawasan yang litologinya disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan dan secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Dari hasil penelitian dan referensi yang ada, dinyatakan Gunung Nglanggeran adalah Gunung Berapi Purba. Kita sudah sering mendengar dan melihat gambar tentang manusia Purba, nah seperti apakah Gunung Berapi Purba??? Lihat keindahan dan Panorama Alamnya di lokasi wisata ini. Bongkahan batu yang menjulang tinggi seperti gedung bertingkat dan mall yang dulunya merupakan gunung berapi aktif ( 60 juta thn yang lalu ) sekarang dapat kita duduki sambil menghirup udara segar sambil berfoto-foto.
Ada bangunan Joglo ( Pendopo Joglo Kalisong ) di pintu masuk dan bila kita melangkah kejalan setapak untuk mendaki gunung, maka ada 3 bangunan gardu pandang sederhana dari ketinggian yang rendah, sedang sampai puncak gunung. Permadani hijau yang terhampar kala memandang ke bawah, melihat ladang, kebun, dan bangunan tower dan berbagai stasiun televisi yang jumlahnya cukup banyak, manambah keindahan alam. Lokasi ini sangat cocok untuk panjat tebing, tracking, jelajah wisata out bond, makrab, dan bekemah.
Banyak wisatawan lokal, dan ada juga sesekali wisatawan asing mengunjungi Gunung Nglanggeran untuk menikmati keindahan pemandangan, mencoba menaklukkan batu-batu besar untuk didaki, dan banyak juga yang hanya sekedar melepas kepenatan dari aktifitas kerja keseharian dan kebisingan kota.
Profil Pracimantoro
Kecamatan Pracimantoro merupakan salah satu dari 25 kecamatan di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Terletak di wilayah di bagian selatan. Di di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Eromoko, di sebelah barat dengan Kabupaten Gunung Kidul, DIY, sebelah timur dengan kecamatan Giritontro dan sebelah selatan dengan kecamatan Paranggupito. Kecamatan Pracimantoro mempunyai luas wilayah 14.214,3245 ha yang mempunyai ketinggian 250 m diatas pernukaan air laut.  Wilayah yang Luasnya  142,14 km² ini berpenduduk 59.242 (2003) Kepadatan 417 jiwa per km² (2003). Tahun 2010 jumlah penduduknya mencapai 72,391 jiwa.
Profil Hutan Wanagama
Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama yang luasnya hampir mencapai 600 hektar ini merupakan tumpuan harapan bagi banyak orang yang bermukim di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya untuk kepentingan ekonomis ataupun kebutuhan akan jasa lingkungan sebagai paru – paru kota , insane pendidikan sebagai media pembelajaran alamiah ataupun oleh pemerintah daerah sebagai salah satu aset wisata alam bagi daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Eucalyptus pellita dan Jati (Tectona grandis) yang saat ini mencapai ratusan pohon dalam kawasan Hutan Wanagama telah menjadi salah satu jenis tanaman yang penting dalam pembangunan hutan di Indonesia khususnya untuk jenis hutan tanaman baik untuk keperluan industri maupun pendidikan dan penelitian dimana sejak akhir tahun 1980-an . Kedua jenis ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan warga masyarakat akan kayu di pasaran karena kemampuan adaptasi yang tinggi terutama pada tanah-tanah marginal bekas padang alang-alang (Imperata cylindrica) seperti di daerah Wanagama, pertumbuhannya cepat, bentuk pohon bagus, relatif tahan terhadap hama dan penyakit, kayunya memiliki sifat-sifat yang baik sebagai bahan baku pulp dan kertas, untuk pertukangan, konstruksi ringan dan teknik silvikulturnya mudah.        Walaupun Eucalyptus pellita dan Tectona grandis mempunyai berbagai macam kelebihan namun di sisi lain kedua jenis ini tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit, yang disebabkan oleh serangga, virus, atupun jamur. Saat ini dalam Kawasan Hutan Wanagama ditemukan hampir sebagian besar tegakan Jati dan Eucalyptus telah mengalami penurunan kwalitas tegakan yang cukup besar, hal ini ditandai dengan adanya kerusakan, kematian ataupun perubahan penampakan fisik beberapa tegakan dalam plot – plot penananam dari pucuk daun hingga akar pohon yang disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab baik faktor biotic maupun abiotik.



















BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Keanekaragaman flora pada kawasan Praci, Wanagama, dan Ngelanggeran dipengaruhi oleh factor abiotik yang meliputi suhu, pH, kelembapan tanah, intensitas cahaya dan keadaan tanah. Jenis flora pada daerah praci kebanyakan floranya merupakan tanaman budidaya semisal pohon Nangka, pohon Pisang, pohon Pepaya, pohon Mangga, pohon kelapa, namun ada pula tanaman hutan semisal jati. Sedangkan pada daerah wanagama dan ngelanggeran flora yang banyak terdapat disana merupakan tanaman hutan yaitu Jati, Mahoni, Akasia, Pule ireng, sengon, lirisidi, duwet, rempeni dan sebagainya. Untuk perhitungan indeks diversitas didapat hasil yang tertinggi adalah Petai Cina yang terdapat pada wilayah Pracimantoro bagian barat dengan nilai 0,159, Jati yang terdapat pada wilayah Wanagama dengan nilai 0,158, dan Rumpeni yang terdapat pada wilayah Nglanggeran 0,16.

B.     Saran
Keanekaragaman spesies di wilayah Pracimantoro, Wanagama, dan Nglanggeran diharapkan tetap terjaga kelestariannya dan tatanan ekosistem tetap terjaga serta diharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.











DAFTAR PUSTAKA
Bruce D. Clarkson. 1990. A Review Of Vegetation Development Following Recent (<450 Years) Volcanic Disturbance In North Island, New Zealand. New Zealand Journal Of Ecology, Vol. 14, 1990
Bronto, S. dan Hartono U., 2003. Strategi Penelitian Emas Berdasar Konsep Pusat Gunung Api. Proseedings Kolo­qium ESDM 2002, h. 172-189.
David M. Wilkinson. 2004. The parable of Green Mountain: Ascension Island, ecosystem construction and ecological fitting. Journal of Biogeography (J. Biogeogr.) (2004) 31, 1–4
Del Moral, R. 1993. Mechanisms of primary succession on volcanoes: a view from Mount St. Helens. In J. Miles and D. H. Walton [eds.], Primary succession on land, 79–100. Blackwell Scientific Publications, London, UK.
Leveque, C. & J. Mounolou. (2003) Biodiversity. New York: John Wiley Ludwiq, J.A., and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecoloqy a Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley & Sons
Sarkar, A., Molla Huq, and Syed Shahadat Hossain. 2010. Consideration Of Detectability And Sampling In Measuring Biodiversity. Pak. J. Statist. 2010 Vol. 26(2), 339-355
Wright, B. E. 2010. Measuring and Mapping Indices of Biodiversity Conservation Effectiveness. Icarus Journal 2010
Rus Abdissalam, Sutikno Bronto, Agung Harijoko, dan Agus Hendratno. 2009. Identifikasi Gunung Api Purba Karangtengah  di Pegunungan Selatan, Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 253-267
Ulfiyah A. Rajamuddin1, Syamsul A. Siradz, Bostang Radjagukguk. 2006. Karakteristik Kimiawi Dan Mineralogi Tanah Pada Beberapa Ekosistem Bentang Lahan Karst Di Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (1) (2006) p: 1-12
Roger Del Moral2 And Andrew J. Eckert. 2005. Colonization Of Volcanic Deserts From Productive Patches1. American Journal Of Botany 92(1): 27–36. 2005.
Siradz, S.A. 2004. “Identifikasi Hara Pembatas pada Lahan Karst Gunung Sewu – Gunung Kidul”. Jogjakarta: UGM Press
Wijayakusuma, H.M Hembing .1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Kartini. hlm. 94-96. ISBN 979-454-083-8.
Sunarto, Toto .2002. Pengujian Serbuk Daun Aglaia Odorata lour., Melia zedarach linn., dan chromolaena Odorata linn.Terhadap Penyakit Bengkak Akar (Meloidogyne spp.)Pada Tanaman Tomat. Bandung: Universitas Padjajaran. hlm. 3.